Mengundurkan diri? Siapa takut?

Tinggalkan komentar

Bye Bye Office“Jadi beneran, nih, mau mengundurkan diri?” tanya atasan baruku ketika itu. Aku sudah memperkirakan reaksinya ini. Wajahnya menyiratkan keterkejutan, sementara tangannya masih memegang erat surat pengunduran diriku. Aku mengangguk mantap.

“Tapi mengapa, Mbak? Apa tidak sayang, mengundurkan diri setelah bekerja sekian lama? Apa tidak menunggu sampai pensiun saja, toh tinggal beberapa tahun lagi? Apalagi yang Mbak cari?”

“Kemerdekaan.”

Atasanku itu menatapku aneh setelah mendengar jawabanku. Baginya tidak masuk akal bahwa seorang pekerja berniat meninggalkan segala kelebihan sebuah perusahaan multinasional hanya untuk mencari kemerdekaan, padahal di luar sana masih banyak orang mendambakan jabatanku itu.

Tetapi, memang benar, kemerdekaanlah yang kucari. Selama bekerja di perusahaan itu, aku memang merasa bahagia. Suasana kerjanya menyenangkan, teman-teman kantor baik-baik semuanya, fasilitas bagus, gaji tidak jelek. Di perusahaan tersebut, cukup banyak ilmu yang kudapatkan selama hampir seperempat abad bekerja.

Tetapi di situ aku tidak mendapatkan kebebasan. Aku harus berangkat pagi-pagi sekali agar tidak ketinggalan jemputan dan begitu sampai di rumah, hari sudah gelap. Belum lagi kalau kena macet. Aku tidak bebas ke mana-mana kalau siang karena terikat jam kerja, apalagi kantor tersebut jauh di pinggir kota. Susahnya transportasi membuatku kesulitan kalau suatu ketika ingin mengurus masalah pribadi. Kalau harus lembur, hatiku kebat-kebit, siap-siap menghadapi wajah masam di rumah.

Aku ingin mempunyai pekerjaan yang memungkinkanku bebas mengatur jam kerjaku, boleh mengatur sendiri hari liburku tanpa harus deg-degan kalau-kalau permohonan cutiku ditolak. Aku ingin selalu dekat dengan keluarga, tidak perlu lembur, boleh menolak pekerjaan kalau sedang tidak ingin bekerja dan hanya mengerjakan pekerjaan yang kusukai. Dan tentunya, hmm, memuaskan bagi dompetku, kendati aku tidak harus kejar setoran lagi mengingat anak-anakku sudah besar.

Jauh sebelum aku mengajukan pensiun dini, sebetulnya aku sudah merintis pekerjaan yang kuinginkan itu.

Menjadi penerjemah.

Awalnya aku melihat iklan di sebuah mingguan wanita, bahwa sebuah penerbit ternama di kotaku mencari penerjemah novel. Iseng-iseng aku melamar. Selanjutnya aku diberi tes yang dikirim lewat faks, dan hasilnya harus kukirim lewat faks juga. Maklum, waktu itu internet belum merupakan kebutuhan vital seperti sekarang ini. Sebulan kemudian aku dikabari bahwa aku lulus tes, dan diminta datang ke penerbit itu. Disana, aku ditemui Manajer Produksi yang kemudian mengajariku pokok-pokok menjadi penerjemah yang baik. Setelah itu aku disodori satu dus besar yang berisi puluhan novel dalam bahasa Inggris, dan aku boleh memilih mana saja yang kusukai untuk kuterjemahkan. Aku boleh menyerahkan hasilnya kapan saja, asalkan tidak terlalu lama. Nah, ini dia. Keinginanku terpenuhi: aku boleh memilih yang kusukai; aku boleh bekerja kapan saja di rumah, cukup setiap Sabtu dan Minggu.

Buku pertamaku itu roman Harlequin, berjudul Man of Ice. Kalau sekarang, banyak temanku yang berteriak pahit … pahit … pahit … setiap mendengar kata Harlequin – tanda mereka agak jijik dan akan menolak mentah-mentah jika disodori novel roman sejenis itu. Tapi bagiku waktu itu, wah itu sudah hebat sekali. Apalagi setelah novel itu terbit dan aku melihat namaku tertulis di situ sebagai penerjemah, bukan main bangganya.

Rate? Tenggat?

Sebagai pendatang baru, waktu itu aku belum mengenal kedua kata kunci itu. Aku juga belum memusingkan kepuasan dompet, karena kebutuhan tersebut masih dicukupi dengan melimpah dari perusahaan tempatku bekerja.

Lama-lama tidak hanya Harlequin yang dipercayakan kepadaku, tetapi juga novel-novel dari genre lain. Aku berkenalan dengan penerbit-penerbit lain, mendapat pengalaman-pengalaman lain, bahkan ada yang memintaku untuk menyunting. Selanjutnya langkahku tidak kubatasi di dalam negeri, tetapi juga merambah pasaran internasional.

Pengalaman pertamaku sebagai penyunting membuatku terheran-heran. Sebelumnya, aku hanya berurusan dengan hasil terjemahanku, dan kalau kucocokkan kembali dengan bukuku yang sudah terbit, biasanya bedanya tidak jauh-jauh amat, bahkan belakangan makin lama koreksiannya semakin sedikit. Jadi aku tercengang sewaktu melihat dalam bahan yang kusunting itu terdapat kalimat-kalimat yang ajaib, penerjemahan kata per kata, melabrak idiom, bahasa yang kaku, sebagian jelas-jelas produk Google Translate bahkan ada yang kualitasnya lebih rendah daripada itu, seperti pengertian yang terbalik dan sebagainya.

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala karena ternyata ada penerjemah yang belum bisa menggunakan tanda baca dengan benar. Kalimat yang sebenarnya sederhana, setelah diterjemahkan justru menjadi semakin sulit dimengerti karena si penerjemah salah memahaminya.

Dari situ aku mengambil kesimpulan bahwa tidak semua orang bisa menerjemahkan dengan baik. Seorang penerjemah yang terbiasa menerjemahkan dokumen yang berupa angka-angka, ilmu pasti, teknik dan semacamnya bisa mati kutu jika menerjemahkan novel. Sebaliknya, yang terbiasa menerjemahkan novel terkadang menjadi boros dalam pemilihan kata-kata, atau tidak menyadari bahwa penerjemahan dokumen tidak jarang menuntut konsistensi dalam penggunaan kata-kata.

Namun semua orang tentunya mengalami proses belajar itu, kan? Setiap penulis harus menguasai seluk beluk bahasa sumber (kalau bagiku, ini Bahasa Inggris), dan bahasa sasaran (bagiku ini Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa), termasuk di antaranya menguasai tata bahasa, idiom, cara penulisan dan sebagainya. Dalam menerjemahkan, aku betul-betul memperhatikan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Sampai sekarang, jika ragu tentang cara penulisan ini aku masih melihat panduan EYD dari buku-buku yang mudah sekali didapatkan di toko-toko buku, atau di situs Wikipedia.

Namun untuk menghasilkan suatu karya yang bagus, masih banyak proses yang harus dilalui. Aku selalu menambahkan “riset”, “manajemen waktu”, dan “memperluas jaringan” dalam hal wajib yang ada dalam “to-do-list”-ku.

Penulis atau penerjemah yang baik menurutku memang harus rajin melakukan riset. Dari pengalamanku selama ini, riset sangatlah membantu penerjemah memahami keseluruhan isi buku yang harus diterjemahkan. Pada waktu aku menerjemahkan buku ‘Desiree’ karangan Annemarie Selinko, misalnya, hampir setiap hari aku membaca hal-hal yang berhubungan dengan sejarah Prancis, terutama sekitar era Napoleon Bonaparte, sehingga setelah menerjemahkan buku itu aku menjadi paham tentang kondisi waktu itu. Aku juga rajin mendengarkan lagu kebangsaan Prancis La Marseillaise yang menjadi nafas dalam novel tersebut, agar dapat menangkap suasananya.

Manajemen waktu yang baik juga harus dimiliki setiap penerjemah. Ini penting, sebab penerjemah juga manusia yang mempunyai kewajiban terhadap keluarga dan masyarakat. Penerjemah harus mengurus rumah, mengantar anak sekolah, ikut arisan, menghadiri pertemuan orang tua murid, pergi ke bank dsb. Sering terjadi, job datang secara bersamaan atau berturutan, dengan tenggat yang pendek atau saling berdekatan satu sama lain. Jika tidak pandai mengatur waktu, jelas bisa pusing sendiri, apalagi jika memiliki klien di luar negeri yang memiliki perbedaan waktu cukup besar. Tidak jarang klien yang berdomisili di Amerika Serikat mengajak rapat pada tengah malam atau dini hari lewat skype atau sarana internet lain.

Urusan memperluas jaringan ini juga masuk dalam catatan wajib yang menurutku harus dilakukan. Banyak cara yang bisa dilakukan penerjemah, seperti bergabung dengan mailing list (milis) penerjemah berbahasa Indonesia terbaik saat ini – Bahtera. Ketika aku bergabung dalam milis yang sangat aktif ini, ternyata kusadari komposisi anggotanya yang heterogen. Anggotanya datang dari beragam latar belakang profesi, seperti juru bahasa, editor, penerbit, production house, departemen pemerintahan, kantor berita, televisi, penerjemah di kedutaan besar negara asing, agen penerjemahan, dokter, ahli hukum, ekonom dan banyak sekali yang lain. Banyak juga penerjemah asing dari berbagai negara yang turut bergabung. Semua topik dibahas dengan semangat asah, asih, asuh begitu menarik, ditambah adanya bermacam-macam informasi yang menambah wawasan penerjemahan.

Aku juga mendaftar sebagai anggota biasa Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI). Beberapa temanku yang masih pemula terdaftar sebagai anggota muda. Ada kegiatan menarik yang kami lakukan beberapa bulan sekali, seperti pelatihan tentang hal-hal yang berhubungan dengan penerjemahan dan kejurubahasaan atau sekadar temu darat untuk berbagi pengalaman.

Sebenarnya untuk mempertinggi kualitas diri dan meyakinkan klien, banyak juga ujian atau sertifikasi yang bisa diikuti penerjemah, misalnya saja Ujian Kualifikasi Penerjemah (UKP). Ujian ini dibagi menjadi dua, yaitu terjemahan umum dan terjemahan hukum. Peserta yang lulus dalam ujian terjemahan umum akan mendapatkan sertifikat sebagai certified translator. Jika ingin mendapatkan SK Gubernur DKI sebagai penerjemah  bersumpah (sworn translator), maka yang harus diikuti adalah ujian terjemahan hukum. Sayang ujian yang diselenggarakan setahun sekali ini hanya dibuka untuk peserta yang memiliki KTP Jabotabek. Mengingat persyaratan kelulusannya sangat ketat, maka persentase peserta yang lulus juga sangat kecil.

Tes Sertifikasi Nasional (TSN) yang diadakan Himpunan Penerjemah Indonesia Tesjuga dapat diikuti semua penerjemah anggota HPI di seluruh Indonesia (tidak hanya dibatasi warga Jabotabek). Walaupun sebenarnya materi soal juga tak kalah sulit dibandingkan UKP, namun waktu pelaksanaan tes berlangsung setahun dua kali.

Setelah semua perbekalan keahlian siap, Tes kemampuan memasarkan diri juga harus kutingkatkan. Ibarat pepatah,tak kenal maka tak sayang. Meskipun kita benar-benar mumpuni, tetapi jika kita tetap bersembunyi, maka calon klien tidak melihat kita. Semakin pintar memasarkan diri, pekerjaan yang datang bahkan tak menutup kemungkinan berasal dari luar negeri dengan tarif Dolar atau Euro.

Perjuangan menjadi seorang penerjemah memang tak mudah. Selain kemampuan menerjemahkan, kepiawaian diri kita untuk menjaring relasi dan memasarkan diri juga diperlukan. Harga atau rate  menerjemahkan juga kubuat dengan “manusiawi”. Terkadang aku heran mengapapara penerjemah baru – yang karena ketidaktahuan mereka atau terdesak kebutuhan – menetapkan rate yang sangat rendah kepada klien internasional. Padahal yang patut diingat, mereka tidak sedang menghadapi klien dalam negeri, jadi seharusnya juga tidak menggunakan rate dalam negeri. Jika rate terlalu rendah, yang rugi adalah penerjemah itu sendiri dan sesama penerjemah yang lain. Biasanya untuk pasar internasional, rate manusiawi yang digunakan adalah USD 0.05/kata (lima sen per kata sumber). Sedangkan untuk pasar domestik, pada tahun 2005 HPI mengeluarkan acuan yang bisa dilihat di situs HPI atau blog Bahtera. Namun karena itu hanya acuan, penerjemah boleh saja menaikkan atau menurunkan tarifnya dari daftar yang ada, tergantung kesepakatan dengan klien.

Hal-hal di atas tersebut niscaya sudah diketahui oleh para penerjemah profesional, dan sebetulnya masih banyak lagi kiat lainnya. Dunia penerjemahan ini sangat luas, dan yang sempat kujelajahi baru seujung kukunya.

Belum lama ini aku bertemu dengan mantan bosku. Ia bertanya, “Jadi apakah seluruh keinginan Mbak dengan menjadi penerjemah penuh waktu sudah terpenuhi?”

“Sebagian besar sudah. Tapi saya salah tentang satu hal. Ternyata saya tidak dapat libur apalagi mengambil cuti panjang semaunya meskipun sudah menjadi freelancer, dan jam kerja tanpa lembur itu pun hanya angan-angan.”

Bahasa Jawa? Memangnya Laku?

Tinggalkan komentar

Sewaktu masih di SD dan SMP dulu, sama sekali tidak terlintas dalam benak saya untuk menjadi penerjemah, apalagi yang berbasis bahasa Jawa. Waktu itu saya bercita-cita menjadi dokter, karena sedang gandrung dengan novel-novel karangan Marga T. yang tokoh-tokohnya dokter. Tetapi untunglah, mata pelajaran Bahasa Jawa saya selalu bagus, sehingga bekal tersebut sangat membantu sekarang ini, mengingat waktu itu kemampuan saya lumayan terasah.

Setelah mendaftar di proz dan translationcafe, dan mempelajari ‘peta’ penerjemah yang tergabung di kedua tempat tersebut, tiba-tiba terlintas di pikiran saya untuk memanfaatkan bahasa Jawa saya. Mengapa tidak? Toh jumlah penerjemahnya tidak sebanyak yang berbahasaIndonesiaatau berbahasa lain. Dengan demikian peluangnya lebih besar dibandingkan dengan yang berbasis bahasaIndonesia.

Pekerjaan pertama saya peroleh dari Jerman, menerjemahkan olah raga. Sesudah itu order mulai mengalir. Topiknya beragam, dari yang serius misalnya laporan keuangan, berbagai manual, doa, panduan bermeditasi sampai yang bersifat hiburan, misalnya menerjemahkan lagu. Klien pun dari banyak negara, sehingga sekarang saya punya langganan tetap dariCina,Indiadan Amerika. Dalam hati saya bertanya-tanya, untuk apa dan untuk siapa mereka membutuhkan teks berbahasa Jawa, tapi masa bodohlah, asal transfernya lancar.

Untuk rate, seperti yang dilakukan banyak penerjemah lain, saya juga fleksibel, lihat-lihat dari negara mana klien berasal. Klien yang dari Amerika dan Eropa, saya pede saja minta dua digit sen per kata, sedangkan yang dariAsia cukup nol koma nol sekian sen dolar. Herannya mereka tidak pernah menawar, tetapi saya tidak mau kemaruk, cukup ‘sak madya’ (moderate) saja.

Kurangnya kamus yang baik, menjadi kendala utama saya. Kamus Jawa-Inggris setahu saya hanya Javanese English Dictionary karangan Stuart Robson dan Singgih Wibisono. Beberapa kamus lain yang saya punya, Jawa-Jawa, Jawa-Indonesia, Indonesia-Jawa, sama sekali tidak memadai untuk bekal. Yang Inggris-Jawa belum pernah nemu. Banyak kata baru yang tidak ada di kamus, sehingga, seperti penerjemah berbahasa apa pun, saya sering harus putar otak menciptakan istilah sendiri, atau kata-kata tersebut terpaksa tidak diterjemahkan. Ketiadaan kamus online terkadang menyebabkan saya mendapat masalah jika harus beradu argumentasi dengan editor lewat agen yang sama sekali tidak memahami bahasa Jawa.

Untunglah sekarang banyak situs berbahasa Jawa yang bagus untuk menambah wawasan, misalnya http://ki-demang.com, http://adjisaka.com,   http://wayangprabu.com, http://heritageofjava.com, http://sambilawang.blogspot.com dan banyak lagi. Surat kabar berbahasa Jawa  juga ada, misalnya Jayabaya (daring), Panyebar Semangat, Djaka Lodang, Mekar Sari masih terbit hingga hari ini, meskipun sulit dicari di tempat saya. Sumber-sumber tersebut bagus untuk memelihara dan mengasah kemampuan berbahasa Jawa dan memahami budaya Jawa. Yang menggembirakan, seperti bahasa Sunda, huruf Jawa hanacaraka sekarang sudah terdaftar di Unicode Consortium Versi. 5.2, 1 Oktober 2009.

Kendala yang lain, bahasa Jawa tersebar luas dengan dialek yang sangat bervariasi, tidak hanya di pulau Jawa, tetapi juga sampai diSuriname, dan negara-negara lain. Belum lagi dengan strata bahasa Jawa yang lumayan banyak dan harus tepat penggunaannya, agar yang diajak berbicara tidak merasa kurang nyaman. Saya tidak tahu siapa klien akhir yang akan menerima hasil terjemahan saya, dan strata atau dialek mana yang dikuasainya, sehingga mungkin saja mereka kurang akrab dengan bahasa yang saya pakai, dan karenanya bisa jadi hasil terjemahan saya dianggap buruk karena faktor perbedaan bahasa ini. Kesulitan lain adalah jika saya harus berhadapan dengan editor yang dialeknya berbeda dengan saya, dan masing-masing tidak dapat memberikan bukti otentik daring yang menjadi dasar argumentasi.

Menjadi penerjemah berbasis bahasa Jawa membuat saya jadi lebih mencintai kebudayaan ini, pengetahuan lebih luas, dan mendorong saya belajar lebih banyak lagi. Sekadar dapat bercakap-cakap dengan bahasa Jawa, meskipun itu bahasa Ibu, tidak serta merta menjadikan seseorang dapat menjadi penerjemah, sebab banyak hal lain yang harus dikuasai termasuk di antaranya cara menulis, karena sebuah kata dalam bahasa Indonesia, meskipun arti dan bunyinya sama, tulisannya mungkin berbeda dalam bahasa Jawa.

Jadi, memangnya bahasa Jawa laku untuk pekerjaan terjemahan? Laku, dong.

Penerjemahan Nursery Rhyme Dan Puisi Dalam Novel

2 Komentar

Dalam sebuah novel, kadang-kadang kita menemukan nursery rhymes, atau puisi-puisi yang disisipkan pengarang agar karangannya menjadi lebih hidup. Meskipun hanya tempelan, tentu saja lagu-lagu dan puisi tersebut tetap harus kita terjemahkan, karena merupakan bagian tak terpisahkan dari novel tersebut.

1. Penerjemahan nursery rhyme.

Definisi:
Menurut Babylon:
A nursery rhyme is a traditional song or poem taught to young children, originally in the nursery. Learning such verse assists in the development of vocabulary, and several examples deal with rudimentary counting skills. It also encourages children to enjoy music.

Jadi yang penting dalam dalam nursery rhyme ini meliputi lagu, puisi dan musik. Nursery rhyme disebarluaskan secara lisan dari generasi ke generasi, untuk mengajarkan bermacam-macam pengetahuan kepada anak-anak, misalnya mengenai berhitung, mengenal warna, anggota badan, hewan, makanan, kebiasaan, negara dsb. Selain itu juga untuk bermain tebak-tebakan, dan bersenang-senang.

Contoh pengenalan anggota badan sekaligus gerakan:

Head and shouldersHead and shoulders, knees and toes,
Knees and toes.
Head and shoulders knees and toes,
Knees and toes.Eyes and ears and mouth and nose,Head and shoulders, knees and toes,
Knees and toes.
Kepala, pundakKepala, pundak, lutut, kaki,
Lutut kaki.
Kepala, pundak, lutut, kaki.
Lutut kaki.Daun telinga, mata, hidung dan pipi.Kepala, pundak, lutut, kaki,
Lutut, kaki.

Karena tujuannya untuk mengajarkan sesuatu kepada anak-anak dalam suasana bermain, maka lirik dalam nursery rhyme selalu diulang-ulang, memakai kata-kata yang sederhana, iramanya pun sederhana. Dalam menerjemahkan nursery rhyme, ketiga hal tersebut harus selalu diingat.

Kiat-kiat dalam menerjemahkan nursery rhyme:

1. Cari inti yang hendak diajarkan, kemudian ungkapkan padanannya sedekat mungkin ke dalam bahasa sasaran. Misalnya dalam pelajaran berhitung, dari satu sampai sepuluh. Jumlah suku kata mau pun bunyi angka dalam bahasa Inggris tentu berbeda dengan bahasa Indonesia. Karena itu harus dicari akal agar ‘rhyme’ kena, tetapi angkanya tetap muncul, bila perlu dengan mengubah susunan kalimat.

2. Untuk mengungkapkan inti, kadang-kadang sulit jika harus setia pada lirik aslinya. Untuk itu tidak jarang kita terpaksa memodifikasi lirik, bahkan mungkin menciptakan/mengajarkan sesuatu yang baru. Menurut pendapat saya, ini sah-sah saja mengingat dalam bahasa aslinya pun, sebuah lagu anak-anak tak jarang diubah liriknya karena dianggap tidak sesuai dengan kondisi suatu era.

This Old ManThis old man, he played one,
He played knick, knack on my drum,* With a knick, knack, paddy whack,
Give the dog a bone;
This old man came rolling home.This old man he played two,
He played knick, knack on my shoe…*This old man he played three,
He played knick, knack on my knee…*This old man he played four
He played knick, knack on my door…*This old man he played five,
He played knick, knack on my hive…*

This old man he played six,
He played knick, knack on my sticks…*

This old man he played seven,
He played knick, knack up in heaven…*

This old man he played eight,
He played knick, knack on my gate…*

This old man he played nine,
He played knick, knack on my spine…*

This old man he played ten,
He played knick, knack once again…*

Pak TuaPak tua, main satu,
Main mainan di sikuku.* Ketrak ketrik ketruk truk.
Bri anjing tulang,
Pak tua lari pulang.Pak tua, main dua,
Main mainan di telinga…*Pak tua, main tiga,
Main mainan di kepala…*Pak tua, main empat,
Main mainan dagu berlipat…*Pak tua, main lima,
Main mainan di jarinya…*

Pak tua, main enam,
Main mainan dengan lengan…*

Pak tua, main tujuh,
Main mainan di rambut…*

Pak tua, main delapan,
Main mainan di pinggang…*

Pak tua, main sembilan,
Main mainan di kepalan…*

Pak tua, main sepuluh,
Main mainan di telunjuk…*

Jika my drum, my shoe, my knee, my door, my hive, my sticks, in heaven, my gate, my spine diterjemahkan dengan drumku, sepatuku, lututku, pintuku, sarang lebahku, tongkatku, surga, gerbangku, tulang punggungku, sekali lagi, sudah pasti rima dan iramanya tidak akan ‘bunyi’ jika disandingkan dengan satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh. Karena itu pada waktu menerjemahkannya, saya mengubah konsep asli yang hanya mengajari berhitung, menjadi menghitung dan mengenal anggota badan.

3. Cari tahu bagaimana iramanya/lagunya, bisa dengan membeli kaset, DVD lagu anak-anak yang sesuai, atau dengan browsing di internet dsb. Banyak situs yang sangat membantu, misalnya www.nurseryrhymes4u.com Nursery Rhymes – Lyric & Origins. Jika kita mengenal lagunya, tentu lebih mudah menyesuaikan liriknya dalam bahasa Indonesia. Dalam memilih kata-kata untuk nursery songs, usahakan agar jumlah suku katanya pas dengan irama sehingga dapat dinyanyikan.

4. Cari tahu latar belakang sejarah, diskusi, pembahasan dsb mengenai nursery rhyme yang sedang kita terjemahkan. Meskipun hanya berupa spekulasi, tidak jarang sebuah lagu/puisi anak-anak dipakai untuk menyindir atau mengritik penguasa, propaganda. Agaknya pada masa itu belum ada keterbukaan, sehingga harus meminjam lagu/puisi anak-anak untuk mengungkapkan kritik. Acuan ini tentu berguna untuk lebih memahami lagu/puisi anak-anak yang sedang kita garap tersebut, paling tidak dapat memperluas wawasan.

Contoh: puisi Little Boy Blue

Little Boy Blue

Little Boy Blue come blow your horn,
The sheep’s in the meadow, the cow’s in the corn.
But where’s the boy who looks after the sheeps?
He’s under a haystack fast asleep.
Will you wake him? No, not I – for if I do, he’s sure to cry.

Puisi Anak Gembala

Gembala, tiup peluitmu,
Kambing main di padang, sapi makan jagung di ladang itu.
Mana gembala yang jaga ternak?
Di bawah jerami, tertidur nyenyak.
Bangunkan dia? Jangan saya.
Kalau bangunkan dia, gembala ‘kan nangis duka.

Contoh-contoh di atas, saya ambil dari The Everything Bedtime Story Book terjemahan saya, yang diterbitkan Penerbit Imania. Pada waktu menerjemahkannya, saya mengulang-ulang mendengarkan lagunya sampai hapal. Setelah itu saya mencoba mencari kata-kata yang pas sehingga terjemahan saya juga dapat dinyanyikan dengan lagu yang sama.

Menurut spekulasi, yang dimaksud Anak Gembala dalam puisi ini adalah Kardinal Thomas Wolsey (1475-1530) yang disebut sebagai “Boy Bachelor’ setelah meraih gelar kesarjanaan dari Oxford dalam usia lima belas tahun. Pada era King Henry VIII tersebut, dikabarkan kardinal itu kaya raya serta banyak musuhnya, mengingat ia sangat tidak disukai, angkuh dan tidak populer di kalangan rakyat Inggris. Tak ada yang berani mengritiknya secara terbuka, karena sudah pasti akan dihukum.

5. Nursery rhyme ini merupakan konsumsi anak-anak, yang dunianya masih serba indah dan sarat bermain,. Karena itu unsur fun tidak boleh dilupakan. Kalimat-kalimat yang panjang-panjang dan sulit tentu akan susah dicerna anak-anak, dengan demikian pemakaian kata-kata yang sederhana sangat dianjurkan.

Contoh puisi La Fontaine, berjudul Les Deux Pigeons (Sepasang Merpati), dalam memoir The History of My Life (Pengakuan Cassanova), tulisan Giacomo Cassanova.

‘Soyez-vous l’un a l’autre un monde toujours beau,
Toujours divers, toujours nouveau
Tenez-vous lieu de tout ; comptez pour rien le reste.
A world of beauty ever new;
In each the other ought to see
The whole of what is good and true.

Penggalan puisi tersebut saya temukan dalam Pengakuan Cassanova terjemahan saya (sudah diterbitkan Serambi). Karena saya tidak menguasai bahasa Perancis, saya cari acuannya yang berbahasa Inggris di internet. Terjemahan bebasnya: Dunia indah yang selalu baru/dalam diri masing-masing saling mengasihi/secara utuh mengenai yang baik dan sejati.

Seperti kita ketahui La Fontaine adalah penyair Perancis yang menulis dongeng banyak sekali, dan hampir semuanya terkenal. Semua dongengnya diceritakan dalam bentuk puisi. Dalam memoirnya, Cassanova mengutip beberapa baris fabel tersebut, dan sewaktu menerjemahkan memoir itu mau tak mau saya harus mengalihbahasakannya juga.

2. Penerjemahan puisi

Puisi yang dimaksud di sini tentu bukan puisi-puisi kelas berat karya pujangga-pujangga atau filsuf ternama, melainkan karangan penulis novel yang kebetulan bukan penyair. Jika itu yang terjadi, pekerjaan penerjemah akan lebih ringan meskipun tidak berarti boleh asal-asalan.

Contoh puisi dalam novel “Dewey, the Small-Town Library Cat Who Touch the World”, terbitan Serambi:

MEMORIES OF DAD

I had broken my engagement
John and I would never marry.
It was the hardest thing I’ve every done,
Emotional and scary.

Mom was very upset,
What would the neighbors say?
I shut myself up in my room
To cry the pain away.

Dad would hear my sobs;
This was the solace he gave:
Leaning on my doorknob, he said,
“Honey, do you want to come and watch me shave?”

KENANGAN PADA AYAH

Aku sudah memutuskan pertunangan
John dan aku tidak akan memasuki perkawinan
Ini keputusan yang paling berat bagiku,
Emosional dan menyedihkan hatiku

Ibu sangat kecewa,
Apa nanti kata tetangga?
Aku menutup diri di kamarku
Untuk menangis tersedu.

Ayah dapat mendengar isak tangisku;
Beginilah penghiburan yang diberikannya:
Bersandar di pintuku, dia berkata,
“Sayang, kau mau melihatku mencukur cambangku?”

Dalam puisi tersebut, terasa betapa sederhananya kalimat-kalimat yang dipakai pengarang. Penulis novel tersebut, Vicki Myron, pustakawan dan orangtua tunggal seorang remaja, menulis puisi tersebut sebagai hadiah ulang tahun ayahnya.

Tetapi bagaimana jika kita terpaksa bertemu dengan puisi kelas berat? Sebagian ahli berpendapat, puisi tidak dapat diterjemahkan, karena roh puisi tersebut belum tentu dapat tertangkap oleh penerjemah. Belum lagi kesulitan-kesulitan yang lain, misalnya dalam pemilihan kata yang kadang-kadang tidak umum untuk menuangkan estetika seperti yang dikehendaki pengarangnya. Tidak jarang puisi ditulis dengan mengikuti pakem tertentu yang terkadang mustahil diikuti ketika menerjemahkannya .Yang jelas, menerjemahkan puisi jenis ini bisa terasa sangat sulit bagi sebagian besar penerjemah. Ada juga yang berpendapat bahwa menerjemahkan puisi sama saja dengan menulis puisi baru. Penerjemah berusaha menangkap roh puisi tersebut dan mengungkapkannya dengan caranya sendiri.

Contoh puisi dalam novel “Call Me by Your Name” (Cinta Terlarang) karangan Andre Aciman, terbitan Serambi:

Inferno, canto ke 15, dari Divine Comedy karangan Dante Alighieri, yang menggambarkan perjumpaan Dante dengan mantan gurunya Brunetto Latini.

(Credit to the owners of the pictures)

E io, quando ‘l suo braccio a me distesse,
ficcai’li occhi per lo cotto aspetto,
si che ‘l viso abbrusciato non difese
la conoscenza süa al mio ‘ntelleto;
e chinando la mano a la sua faccia,
rispuosi: “Siete voi qui, ser Brunetto?”
Soon as he touch me, I could no more avert
Mine eyes, but on his visage scorched and sered
Fixed them, until beneath the mask of hurt
Did the remembered lineaments appear.
And to his face my hand inclining down,
I answered, “Ser Brunetto, are you here?”

Terjemahan bebas saya:

Segera setelah dia menyentuhku, aku tak bisa lagi memalingkan
Mataku, terus menjelajah dan membelai roman mukanya
Terpaku padanya, hingga di bawah topeng derita,
Ingatan berpacu ke permukaan.
Dan ke wajahnya tanganku meraba
Aku menjawab, “Ser Brunetto, di sinikah Anda?

Dalam Divine Comedy ini Dante berkisah mengenai perjalanannya ke alam baka setelah ia mencoba bunuh diri. Di suatu tempat yang dipakai untuk menghukum para pendosa yang merusak alam, ia bertemu dengan mantan gurunya Brunetto Latini, seperti yang diungkapkan dalam Inferno, canto ke 15 tersebut.

Kiat-kiat dalam menerjemahkan puisi:

1. Persiapan:

  • Membaca puisi tersebut berkali-kali hingga menangkap feel puisi tersebut, gaya bahasa, metafora, meter, dsb.
  • Melakukan riset dengan mencari acuan, pembahasan, kritik, analisa sebanyak mungkin di internet atau sumber-sumber lain.
  • Bertanya kepada sumber-sumber yang dapat diandalkan, termasuk (jika mungkin) menulis surat kepada pengarangnya.

2. Mulai mengerjakan. Puisi merupakan karya seni, sehingga sedapat mungkin keindahannya tetap terjaga, dan pesan serta jiwa puisi tersebut dapat dinikmati pembaca. Sebagian ahli berpendapat bahwa menerjemahkan puisi itu ibarat membuat reproduksi lukisan. Tidak persis sama, tapi sangat mirip, sedapat mungkin tetap indah.

Contoh puisi karangan penyair terkenal dalam novel “For the Roses” karangan Julie Garwood terjemahan saya, yang diterbitkan Dastanbooks:

Gambar

No man is an island, entire of it self; every man
is a piece of the continent, a part of the main;
if a clod be washed away by the sea, Europe is
the less, as well as if a promontory were, as well
as if a manor of thy friends or of thine own
were; any man’s death diminishes me, because I
am involved in mankind; and therefore never
send to know for whom the bell tolls; it tolls
for thee.

John Donne
Devotions upon Emergent Occasions
Meditation XVII

Of all flowers, Methinks a rose is best.
It is the very emblem of a maid;
For when the west wind courts her gently,
How modestly she blows, and paints the sun
With her chaste blushes! When the north comes near her,
Rude and Impatient, then, like chastity,
She locks her beauties in her bud again,
And leaves him to base briers,
She is wondrous fair.
…Methinks a rose is best.

William Shakespeare and John Fletcher
The Two Noble Kinsmen

Bagaimana Anda akan menerjemahkan kedua penggalan puisi di atas jika Anda yang ditunjuk jadi penerjemah novel di atas?

Catatan:

Tulisan di atas adalah makalah yang saya presentasikan pada National Seminar and Workshop on Book and Novel Translation and Translation Editing, 19 Juli 2009 di Malang, bertepatan dengan ulang tahun milis Bahtera.

Kisahku

Tinggalkan komentar

“Ya, ampun, aku nggak lulus, ya. Wah harus ngulang, nih,” demikian kira-kira kata-kataku sekitar tiga puluh tahun yang lalu, sambil menatap papan pe ngumuman di fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM. Untuk mata kuliah translation I, aku hanya mendapat D, alias tidak lulus. Ya ampun, ini sangat memalukan. Satu-satunya mata kuliah yang aku tidak lulus. Seumur-umur ini akan selalu kuingat.

Wajahku memerah, hatiku panas. Masa sih, aku tidak lulus? Perasaanku nyaman-nyaman saja ketika keluar dari ruang ujian, pokoknya ‘pede abiz’ kata anak sekarang. Segera kudatangi ruang dosen untuk meminta penjelasan dari dosen translation. Aku masih belum yakin benar mengenai keputusannya untuk tidak meluluskanku itu. Aku ingin melihat sendiri hasilnya, hitam di atas putih.

Dosenku menunjukkan hasil karyaku ketika ujian, dan dengan bijak menjelaskan hal-hal apa saja yang membuatku tidak lulus. Benarlah, banyak ungkapan dan kalimat yang kuterjemahkan dengan tidak tepat, bahkan mleset sama sekali. Mataku terbuka, tetapi hatiku masih panas. Aku tidak terima dianggap tidak dapat menerjemahkan. Benarkah ilmu menerjemahkan itu begitu sulitnya sampai aku tidak lulus? Kalau teman-temanku bisa, mengapa aku tidak? Dalam hati timbullah tekad bulat untuk membuktikan kepada dosenku itu, bahwa anggapannya salah, bahwa aku bisa, bahwa aku tidak kalah daripada teman-teman seangkatanku.

Singkat kata, kemudian aku lulus dalam kuliah translation dan interpretation tanpa harus mengulang-ulang lagi.

Setelah lulus, aku benar-benar bekerja sebagai penerjemah di kantor  pengacara yang terkenal waktu itu. Tapi, kurasakan dunia penerjemahan yang kumasuki waktu itu tidak terlalu menarik, terlalu sulit, terlalu berat, mungkin karena aku masih hijau, dan masih gamang melihat ‘dunia’. Aku bertanya-tanya dalam hati, mungkin dosenku itu benar, bahwa aku tidak bisa menerjemahkan dan memang dunia yang ini bukan untukku.

Jadi dengan malu hati, sewaktu aku ditawari pekerjaan lain, aku segera angkat kaki dari kantor pengacara tersebut. Selamat tinggal teks hukum yang memusingkan.

Bekerja di suatu perusahaan besar ternyata sangat mengasyikkan. Banyak hal baru yang kutemukan, pengalaman-pengalaman mengerjakan berbagai hal yang sangat banyak variasinya, membuatku lupa pada tekadku sewaktu kuliah itu. Dan tentu saja, aku juga tidak dapat terlepas dari pekerjaan menerjemahkan berbagai dokumen perusahaan, aktif membuat laporan tahunan dengan dua bahasa dan banyak lagi, yang membuat wawasanku semakin luas.

Tetapi, setiap kali aku membaca buku terjemahan, mataku selalu mencari siapa penerjemahnya. Setiap kali aku menonton film dan membaca teks terjemahannya, aku membayangkan aku yang menerjemahkan. Aku iri pada mereka. Siapakah mereka itu, yang namanya begitu indah tercantum pada halaman hak cipta atau disebutkan pada akhir suatu film? Aku ingin seperti mereka. Lagipula, aku masih punya ‘dendam’ kepada dosen translationku, yang belum kulampiaskan, dan masih mengganjal di hati.

Betapa bahagiaku saat aku diterima sebagai penerjemah lepas oleh sebuah penerbit terkemuka diIndonesia. Akhirnya aku punya sarana untuk membalas ‘dendam’. Tanpa terasa berpuluh buku mulai mengalir dari komputerku, meskipun aku masih menganggapnya sebagai hobi karena aku masih harus ‘mengejar setoran’, dan masih banyak hal baru yang menarik untuk kupelajari di kantor. namanya begitu indah tercantum pada halaman hak cipta atau disebutkan pada akhir suatu film? Aku ingin seperti mereka. Lagipula, aku masih punya ‘dendam’ kepada dosen translationku, yang belum kulampiaskan, dan masih mengganjal di hati.

Setelah aku mengenal bahtera dan bergabung dengan HPI, wawasanku jadi lebih luas. Ternyata dunia penerjemahan tidak hanya sebatas hiburan seperti yang selama itu kupahami. Berbagai jenis dokumen ternyata sangat menantang untuk diterjemahkan.

Rasanya pekerjaan di kantor kehilangan kilaunya. Aku merasa sudah menguasai semuanya, dan tidak ada hal baru yang menarik. Akhirnya setelah 23 tahun tersesat dengan bekerja di kantor yang tidak ada hubungannya dengan dunia penerjemahan, aku memutuskan untuk kembali ke jalan yang benar.

Aku mengajukan pensiun dini, lalu terjun sepenuhnya menjadi penerjemah penuh waktu. Aku tidak tersesat lagi. Dan tentu saja aku tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada mantan dosen translationku itu. Jika waktu itu aku tidak merasa dipermalukan karena tidak lulus, tentunya tulisan ini tidak akan mengalir dari komputerku, dan aku akan terus tersesat.

Tulisanku di atas pernah dimuat di buku Menatah Makna, sebuah kumpulan kisah nyata yang ditulis para penerjemah anggota milis Bahtera.